senja bersemburat merah di ujung horizon. Pucuk-pucuk sinar jingga
tertinggal malu-malu, dari Sang Surya yang mulai meringkuk ke
peraduannya. Petang mulai padat mengisi ruang. Bias kegelapan menyelisip
perlahan di antara garis-garis cahaya yang mulai memudar. Pantulan
langit pada samudera berpendar mempesona walau gelap mulai makin kelam.
Burung-burung terbang pulang ke sarang, melintas berkilasan berbaur
dalam bianglala penuh nuasa seribu warna.
Memandangi keindahan di
ujung petang, di antara selisir angin laut dan kehangatan sisa-sisa
mentari senja. Duduk sendiri di pinggir jendela kamar, berkawan dengan
keheningan. Ning yang tenang. Nang yang hening. Kesunyian begitu kental
menyesakkan sanubari. Wangi mawar-mawar di ujung taman, yang menyeruak
masuk tanpa diundang, tak mampu menggelitik menggoyangkan renjana hati.
Entah
mengapa, di hari-hari terakhir ini ribuan getaran rindu tak pernah
berhenti menghujam dada. Datangnya bagai bara, panas membakar
menghanguskan ruang jiwa. Datangnya bagai sebungkah es, dingin
menggigit membekukan sekelumit kesadaran hati yang tersisa.
Terlalu
lama sudah aku bermimpi. Menelusuri angan mengikuti jejak sejarah yang
pernah kau lukiskan. Menjembatani khayalan merengkuhmu menari dalam
irama cinta di antara gerimis pagi. Tapi langkahmu Kekasih, begitu jauh
berputar terbawa angin segara. Makin menghilang di sela-sela kabut yang
mengitari lautan.
Sudah kucoba menata lagi hamparan puing-puing
hati yang tertinggal. Mencoba menghapus jejak-jejak langkahmu yang
tersisa di pasir-pasir pantai rumah cinta kita. Menggapai asa merengkuh
harapan di kepingan awan putih di atas sana. Kadang tersedak menghirup
sisa udara yang wanginya kau tinggalkan.
Malam makin kelam.
Kegelapan mulai menyentak -nyentak, perlahan menyelimuti peraduan Sang
Surya yang terlelap. Dewi Malam bergandengan tangan dengan Rembulan,
mulai berdiri berjingkat perlahan mengitari bumi. Lalu dengan lembut
ditiupnya sisa-sisa lilin jingga dari senja yang kemerahan. Wangi mawar
yang mulai menguncup masih tertinggal di ujung kamarku, namun
pelan-pelan mulai tergantikan dengan keharuman sedap malam yang
menguasai kegelapan.
Terpesona memandangi sore yang Kau
tinggalkan di sudut mimpi, tanpa sadar sepasang tangan lembut sudah
beberapa saat merengkuhku dalam pelukan. Kehangatan menjalar meneduhi
hujan yang mengalir lewat mataku. Ada salam sayang menyeruak masuk lewat
wajah kunang-kunang di tepi taman. Ada kekuatan untuk tetap bersama
dalam lingkaran tangan. Mengajak melafalkan kata-kata baru.
Malam makin berdandan rapi. Daun-daun kering mulai menggugurkan diri. Alampun mulai bersemadi.
Kekasih...ada
ikrar lain yang aku pasrahkan pada dinding-dinding hati lainnya.
Sisa-sisa keindahan yang ingin aku rengkuh. Melajukan perahuku bersama
angin barat, mencari danau biru, awan biru, laut biru dan ikan-ikan yang
menari ditimpa silaunya Mentari.
Toh esok, langit akan kembali
terang dan awan-awan kembali memutih bagai kapas, beriringan mencari
kelahiran dan menghadapinya dengan senyuman teramat manis.
Kekasih..bantu aku bermimpi lagi, berjingkat-jingkat di permukaan telaga bening mengalun bersama riak air .
.