Selasa, 21 Mei 2013

PILOSOFI CINTA DAN FITRAH INSANI


              .........................Aku adalah apa yang ada dalam hidupku……..........
Setiap insan semua pasti memiliki fitrah masing-masing. Arti kata fitrah adalah suci, mumpuni setiap insan itu ada dalam kesucian, tapi beberapa ulur waktu manusia atau insan banyak melakukan hal yang dapat menjadikan dirinya jauh dari rasa fitrah itu sendiri. Ketika manusia dilahirkan pasti dalam keadaan suci namun setelah beranjak dalam beberapa dekade pertumbuhan manusia mengenal dunia, perjalan hidup akan ditempuhnya akan mengalami kerumitan atupun sebaliknya.
                                             Seperti pilosofi kehidupan cinta ini :
Akan rela melepasmu pergi bila bersamanya kamu tidah bahagia…
Dan ia akan ikut bahagia walau kamu yang di cintainya bahagia
bersama orang lain….
Akan membalut hatimu yang pernah terluka dan menjaganya dengan
setulus hati agar tidak terluka lagi…
Dan ia akan memberikanmu yang terbaik walau harus menyakiti
hatinya sendiri…
Akan selalu berusaha membuatmu tersenyum dan tertawa
walau terkadang caranya membingungkanmu…
Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu. Hanya untuk menemukan bahawa pada akhirnya menjadi tidak bererti dan kamu harus membiarkannya pergi.
Kamu tahu bahwa kamu sangat merindukan seseorang, ketika kamu memikirkannya hatimu hancur berkeping.
Dan hanya dengan mendengar kata “Hai” darinya, dapat menyatukan kembali kepingan hati tersebut.
Tuhan ciptakan 100 bagian kasih sayang. 99 disimpan disisinya dan hanya 1 bahagian diturunkan ke dunia. Dengan kasih sayang yang satu bagian itulah, makhluk saling berkasih sayang sehingga kuda mengangkat kakinya karena takut anaknya terpijak.
Kadangkala kamu tidak menghargai orang yang mencintai kamu sepenuh hati, sehingga kamu kehilangannya. Pada saat itu, tak adda guna penyesalan karena dia pergi tanpa mengucapkan kata – kata.
Jangan mencintai seseorang seperti bunga, kerana bunga mati kala musim berganti. Cintailah mereka seperti sungai, kerana sungai mengalir selamanya.
Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah kekuatan cinta !
Permulaan cinta adalah membiarkan orang yang kamu cintai menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kamu inginkan. Jika tidak, kamu hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kamu temukan di dalam dirinya.
Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit,bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus,tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur,di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji. (Hamka)
Kata-kata cinta yang lahir hanya sekadar di bibir dan bukannya di hati mampu melumatkan seluruh jiwa raga, manakala kata-kata cinta yang lahir dari hati yang ikhlas mampu untuk mengubati segala luka di hati orang yang mendengarnya.
Kamu tidak pernah tahu bila kamu akan jatuh cinta. namun apabila sampai saatnya itu, raihlah dengan kedua tanganmu,dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya dihatinya.
Cinta bukanlah kata murah dan lumrah dituturkan dari mulut ke mulut tetapi cinta adalah anugerah Tuhan yang indah dan suci jika manusia dapat menilai kesuciannya.

Rabu, 15 Mei 2013

MABDA'

MABDA'(Ar.= sumber pertama, asal, asas,dasar, landasan, pokok, prinsip). Titik pusat yang menjadi sumber pertamaterjadi atau terbentuknya sesuatu yang lain. Misalnya, atom dikatakan sebagai mabda'dari materi-materi lain yang ada, dalam alam ini. Dengan demikian, disatu sisi, kajian tentang mabda' tidak terlepas dari kajian tentang Mahiah (hakikat universal) yang mendasri maujudat. Kajian tersebut merupakan objek pokok dalam ontologi. Disis lain, kajian tentang mabda' terkait pula dengan permasalahan "sumber pengalaman" yang menjadi landasan terbentuknya "konsepsi" (tasawwur) dalam pikiran. Permasalahan terakhir ini merupakan objek pokok epistimologi dalam filsafat. Dalam kajian ontologis, mabda' dikatakan juga sebagai sebab al-sabab (sebab dari segala sebab) atau illah ula (sebab yang pertama ). dalam hal ini, kajian akan meluas kepada permasalahan, yakni mabda' itu tunggal atau banyak, materi atau nonmateri, dan kaitan mabda' itu dengan Dalam menhajwab permasalahn tersebut, sejak dahulu kala para pemikir telah mengemukakan berbagai pemikiran pendapat sesuai dengan latar belakang zamannya. Thales (624-545 SM), filsuf dan ahli matematika, yunani pertama, mengemukakan bahwa mabda' segala maujud ini adalah tunggal dan berbentuk materi, yaitu "air" bagi Thales, air adalah sebab pertama dari segala yang ada. Di samping sebagai maddah (materi), air juga sebagai surrah (bentuk). Pandangan Thales kemudian tentang oleh muridnya sendiri, Anaximander (610-547 SM), yang mengatakan bahwa, tidak mungkinsegala sesuatu terjadi dari air. Ia mengatkan bahwa mabda' segala sesuatu adalah tunggal dan tidak terbatas. Mabd' yang demikian disebutnya Appeiron. Karena tidak berhingga, opeiron tida dapat diindra. segala yang dapat diindra mempunyai akhir. Ia timbul atau terjadi, hidup, mati, dan lenyap. Segala yang berakhir berada dalam "kejadian" senantiasa, yaitu dalam eadaan berpindah dari yang satu dan menyatu dengan yang lain. Yang cair menjadi beku dan sebaliknya. Demikian pula, yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semua itu terjadi dari opeiron dan kembali pula kepadanya. Pandangan kedua filsuf yunani itu dalam istilah fisafat disebut dengan "materialisme monisme" yakni memandang bahwa asal segala yang maujud ini adalah berbentuk materi tunggal. Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang bersifat nonmateri tidak merupakan sesuatu yang fundamentaldalam alam ini; Ia muncul muncul sebagai aktivitas dari materi atau sebagai akibat dari aktivitas materi. Berbeda dengan pendapat di atas, Empedocles (filsuf yunani, 490-430 SM) berpendapat bahwa mabda' dari segala yang maujud ini bukan satu, tetapi banyak, terdiri dari empat anasir, yaitu, : Udara, api, air, dan tanah. Keempat anasir itu adalah pemilik empat sifat; udara bersifat dingin, api bersifat panas, air bersifat basah, dan tanah bersifat kering. Segala yang maujud ini berasal dari persenyawaan keempat anasir tersebut yang disatukan oleh "cinta" dan di pisahkan oleh "benci". Cinta dan benci itu sendir berada diluar mabda' tersebut. Cinta menjadikan sesuatu yang maujud, sedangkan benci menghancurkannya dan mengembalikannya keasalnya (ke empat anasir tersebut). Pendapat empedocles dibantah juga oleh Anaximander goras (filsuf yunani, 500-428 SM). Ia menantang bahwa mabda' alam semesta ini bukan terdiri dari empat anasir, tetapi banyak tidak terhitung jumlahnya. Barang asal tidak dapat berubah menjadi baru, keadaanya tetap. Oleh sebab itu, anasir asal harus ada pada setiap barang. Dengan demikian, anasir yang menjadi mabda' sama banyak dengan zat barang yang ada dalam alam ini. Apabila dari segalanya dapat terjadi segalanya, maka akan akan ada segalanya dari segalanya. Setiap ruang mengandung dari segala barang. Dalam nasi, air, dan sebagainya telah ada zat kulit, zat darah, zat daging, dan zat tulang. Kare=na jika tidak demikian nasi yang dimakan dan air yang diminum tidak dapat membarui kulit, tidak dapat menjadi darah, daging, dan tulang. Barang yang berlainan itu rupanya bergantung kepada kedudukan campuran anasir asal. Anasir yang terbanyak dalam campuran itu menentukan rupa barang itu. Sama dengan Empedocles, Anaxanagoras beerpendapat bahwa pencampuran dan perpisahan ansir-anasir itu digerakan oleh kodrat dari luar, tetapi bukan cinta dan benci seperti yang dikatakan Empedocles. Menurutnya, kodrat yang menyatukan dan memisahkan itu hanya satu, yaitu nus. Pandangan yang mengatakan bahwa mabda' alam ini berasal dari materi ditentang oleh para pmikir yang memamnfang bahwa mabda' itu bersifat. Menurut mereka asal-usul yang ada ini adalah ruh. Materi yang ada dan dapat diindra - menurut aliran serba ruh (idealisme) merupakan penjelmaan dari ruh. Johan Goltilleb Fichte (1762-1814), filsuf Jerman, menerangkan bahwa segala sesuatu yang selain ruh yang rupanya ada dan hidup merupakan suatu jenis, perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh. Plato (427-347 SM), filsuf yunani yang dipandang sebagai bapak idealisme, melihat bahwa alam empiris yang ada ini bukan suatu yang hakiki, menurut Plato, merupakan suatu realitas dan bentuk-bentuk asli yang memunculkan bentuk-bentuk yang lebih beraneka ragam meja, maka yang kita lihat dengan mata itu bukan yang sesungguhnya, tetapi bayang-bayang yang sempurna dari meja asli yang ada dalam alam ide. Menurut Plato, mabda' alam ini adalah bentuk alam yang ada dalam ide. Alam ide itu bersifat spritual. Adapun Gottfried wilhelm Leibniz (1646-1716), Filsuf Jerman, memandang bahwa mabda' alam maujudat ini adalah "monade". Monade adalah kesatuan-kesatuan yang bersifat sederahan, tidak menempati ruang, dan tidak berbentuk. Sifat utamanya ialah bergerak dan berfikir. Monade bukan materi; ia hidup meskipun pada tingkat tertentu tidak sadar. Monade itulah yang menjadi asal usul alam semesta ini. Dalam Theologi dan filsafat Islam, kajian ontologi tentang mabda' alam semesta ini mendapat besar pula. Kaum theolog dan filsuf ini adalah Allah SWT. Akan tetapi mereka berbeda dalam melihat bagaimana alam yang ganda ini muncul dari Allah SWT sebagai mabda' nya yang tunggal. Kalangan ahlussunah-waljama'ah memandang bahwa alam semesta muncul dari sumber-nya itu melalui penciptaan dari tidak ada menjadi ada (Lat: creatio ex nihilo). Pada mulanya alam ini tidak ada. Kemudian Allah SWT menciptakannya dari dari tidak ada ('adam) menjadi ada (wujud), sehingga alam ini meruoakan makhluk yang baru. Berbeda dengan kalangan ahlussunah-waljam'ah, dikalangan Muktajilah dan filsuf lainnya terdapat pandangan bahwa alam ini dijadikan Tuhan dari sesuatu yang "telah ada". Dari kalangan Muktazilah muncul pandangan bahwa alam ini dijadikan Allah SWT bukan dengan cara langsung dari tidak ada menjadi ada, tetapi dijadikan-Nya secara tidak langsung dari bahan yang telah ada, yaitu Syai' wa zat wa 'ain (sesuatu zat, dan hakikat) bahan ini mereka sebut dengan al-maddah al-ula (materi pertama) atau ma'dum (ketiadaan). Bahkan, ada dikalangan mereka yang mengatakan bahwa ma'dum itu sama dengan alam empiris ini, hanya belum mempnyai wujud. Kalangan filsuf, antara lain al-Faribi dan Ibnu Sina, juda perpendapat bahwa alam ini berpendapt bahwa alam ini diciptakan-Nya secara tidak langsung. Menurut Mereka, alam semesta muncul dari Allah SWT sehingga mabda' nya dengan jalan melimpah(*emanasi). Istilah mabda' digunakan pula oleh filsafat dalam sumber ilmu pengetahuan. Secara garis besar, terdapat dua aliran filsafat. Pertama, rasionalisme, yang memandang bahwa mada' ilmu pengetahuan adalah "rasio". Rasio itu hanya ada pada subjek (manusia). Aktivitas rasio ialah berfikir. Dengan berfikir muncul ilmu pengetahuan. Manusia bertindak dan berbuat berdasarkan ilmu pengetahuan. Hewan tidak memiliki ilmu pngetahuan, karena tidak memiliki rasio. Hewan hanya memiliki naluri yang dibawanya sejak lahir. Naluri itu menentukan tindakannya. Karena itu, tindakan hewan tidak pernah berubah. Filsuf yang cenderung kepada teori ini diantaranya ialah Rene Descartes (filsuf Perancis, 1596-1650) dan Leibiniz. Kedua, emperisme, yang memandang pandangan kaum rasionalis. Aliran ini memandang bahwa mabda' ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris manusia. segala yang didengar, dilihat, dicium, dirasa, dan diraba oleh manusia akan menjadi pengalamannya. pengalaman tersebut merupakan sumber ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manuisa. Bagi aliran ini, rasio manusia tidak dilengkapi dengan pengetahuan apriori yang dibawa sejak lahir. Rasio hanya laksana tabula rasa (lembaran kosong) yang baru akan memiliki tulisan dengan adanya pengalaman. Filsuf yang cenderung kepada paham ini diantaranya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan Jhon Locke (1632-1704, keduanya filsuf Inggris. Para filsuf Islam cenderung memadukan kedua mabda' itu, bahkan menambahkannya dengan sumber ketiga, yaitu Wahyu dan Ilham (intuisi). Kelompok ikhwan as-Safa memandang bahwa ilmu pengetahuan manusia dimulai dengan memikirkan apa yang telah diindra, sehingga menghasilkan suatu pengetahuan. Diataspengetahuan argumen (burhan), yakni pengetahuan yang didapat oleh orang tertentu karena kenyalaan mata hatinya. Pengetahuan ini identik dengan pengetahuan Intuitif. Di dalam tasawuf, pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahaun yang paling hakiki dan paling diterima keadaanya. Pengetahuan intuitif ini bersumber langsung dari Tuhan dan dapat dicapai oleh manusia yang telah membersihkan batinnya dari segala kotoran dosa. AL-Gazali menerima baik menerima pengetahuan intuitif ini. Ia mengatakan bahwa hati manusia laksana cermin. Apabila cermin dibersihkan maka akan dapat tergambar macam-macam gambaran. Pengetahuan intuitif yang diterima dari Illahi akan tergambar dengan demikian, menurut para filsuf dan sufi, intuisi juga mabda' pengetahuan di samping pengalaman dan pemikiran. Paham ini kemudian diterima oleh Henri Bergson (1859-1941), filsuf Perancis. ****Sumber Ensiklopedi Islam***